Sabtu, 08 Maret 2014

Asmara Dalam Aksara

Ada asmara dalam aksara
Ketika kita hanya bisa berbalas kata
Ketika langit sendu dan terbata-bata
Melantun, merindu lalu mendua

Asmara tanpa kata
Ada aku... kamu... dia
Ketika dia melanda dalam dada
Maafku untukmu tak terbina

Aksara... Aku pada dia
Padamu.. Jangan dulu berlalu
Mungkin cukup saat ini bagiku
Dalam aksara yang sempat berwarna

Mungkin bintang tengah melilitkan rinduku padanya
Aku denganmu, seolah merona karenanya
Hampir saja, ya
Ya, dalam Psychedelia

Kupu Bunga

Kupu-kupu itu telah menjadi kau
Sayangnya menjadi aku dalam senyap
Menyaksikan dari tiada menjadi ada
Seperti datangmu menjadi pergimu

Dentang jantung mengiringi
Tarian waktu yang berjinjit
Perlahan wajahmu menjadi tipuan
Jika percaya janyalah mengingat
Keraguan adalah cara melupakan

Terbakar gambarmu menjadi abu
Tertabur di danau keheningan

Di mana aku adalah di manaa

Jumat, 07 Maret 2014

Hei, Kamu!

Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Sesuatu yang terus bertalu-talu demikiannya mendorong langkahku kembali. Yang tak bisa kudefinisikan apa. Yang tak pernah bisa berhasil kuterjemahkan ke dalam bentuk frasa yang terangkai. Bahkan hanya sebuah pengakuan kecil saja barangkali, terhadap hatiku yang melulu sakit, juga terhadap diriku yang entah rasanya seperti tulang-belulang yang ringkih berdiri.

Aku menyangkal. Dalam bentuk apapun jelmaan dirimu yang masih saja tinggal di sudut otakku. Aku mengoreknya agar ia mau keluar dari kediamannya, tetap aku sia-sia. Hal yang selalu sama yang kulakukan sedari dulu, enam tahun yang lalu. Jika aku sempat menghitungnya berapa kali aku menyangkal, berapa kali aku menghindar, berapa kali aku menipu diriku sendiri, dan berapa kali aku mencoba menjauh. Tapi pada akhirnya aku selalu kalah dalam perseteruan tak tertulis ini. Mengalah pada perasaan yang bodoh ini. Mengaku malu pada langit sepi yang berkali-kali menertawakan kegagalanku.

Selasa, 04 Maret 2014

Sajak

Musim telah mengganti di sekeliling kita tiap waktu
Rasa ini bergetar seperti sekuntum bunga yang tak pernah layu
Aku memikirkan dirimu

Kata yang saling kita mainkan bagai melodi yang indah
Aku bahagia memilikimu di dekatku
Sehingga mata yang tengah tersenyum itu takkan menangis
Aku akan melakukannya, sehingga engkau takkan melihat bintang di malam hari

Kehidupan Di Matamu

Tak terhitung… masa-masa yang telah terlewati
Seberapa besarkah aku sungguh-sungguh mengenal dirimu?
Tak sesederhana menyusuri selembar peta dengan jarimu
Aku tahu engkau sedang mencoba menyembunyikan raut kegelisahanmu

Seolah melawan hari esok yang kian mendekat
Aku berjalan di sekitar, masih saja ia berupa ketakjuban… betapa hatiku penuh akan dirimu.

Jika aku menengadah, gemerlapan meluap-luap, tak akan pernah memudar
Andai aku dapat seperti matahari yang selalu bersinar cemerlang

Minggu, 02 Maret 2014

Di Antara Hujan

Aku membuka jendela kamarku saat hujan mulai turun, menghirup napas dalam semampuku, menikmati aroma tanah kering yang baru saja tersiram air hujan. Tetes-tetes anugrah Tuhan yang satu ini selalu bisa membuatku nyaman. Aku pun tersenyum tanpa disadari. Untuk mendeskripsikan kecintaanku pada salah satu ciptaan dan karunia terindah yang diberi Tuhan ini rasanya sudah tak perlu lagi, ini adalah wujud nyata dari sumber kebahagiaanku. Hujan menyelipkan segala rasa termasuk duka, namun aku memilih bahagia sebagai kadar yang paling banyak di dalamnya. Lewat hujan aku belajar banyak hal, memaknai sebuah pesan bisu lewat karya Tuhan yang paling indah. Misalnya, kesedihan. Perasaan itu hadir saat ada awan hitam menggeser awan putih, awan itu menimbulkan efek yang menakutkan lewat hujan yang sangat deras dan lewat gemuruh petir yang memekakkan. Namun, awan itu hadir hanya sebentar, awan itu sedang menguji kita. Dia ingin melihat apakah kita akan tetap tinggal dan menunggunya reda atau pergi menembusnya. Atau mungkin sebagian orang akan menikmati kehadirannya, kita tidak tahu. Perlahan awan itu bergerak pergi meninggalkan sisa-sisa gerimis, awan putih mulai hadir kembali. Hujan dan awan merupakan satu kesatuan yang kukagumi. Bahkan Tuhan menyelipkan pelangi di dalamnya, menambah keindahan lukisan alam yang memesona. Entah siapa yang memulai, semua orang tahu pelangi akan hadir beriringan setelah badai reda. Setiap orang memaknainya seperti itu, tapi kenapa kita tak pernah tahu jika kita bahkan bisa menari di tengah iringan badai? Memaknai segalanya semudah mungkin karena meyakini satu hal, badai singgah tak akan lama, maka nikmatilah.