Jumat, 07 Maret 2014

Hei, Kamu!

Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Sesuatu yang terus bertalu-talu demikiannya mendorong langkahku kembali. Yang tak bisa kudefinisikan apa. Yang tak pernah bisa berhasil kuterjemahkan ke dalam bentuk frasa yang terangkai. Bahkan hanya sebuah pengakuan kecil saja barangkali, terhadap hatiku yang melulu sakit, juga terhadap diriku yang entah rasanya seperti tulang-belulang yang ringkih berdiri.

Aku menyangkal. Dalam bentuk apapun jelmaan dirimu yang masih saja tinggal di sudut otakku. Aku mengoreknya agar ia mau keluar dari kediamannya, tetap aku sia-sia. Hal yang selalu sama yang kulakukan sedari dulu, enam tahun yang lalu. Jika aku sempat menghitungnya berapa kali aku menyangkal, berapa kali aku menghindar, berapa kali aku menipu diriku sendiri, dan berapa kali aku mencoba menjauh. Tapi pada akhirnya aku selalu kalah dalam perseteruan tak tertulis ini. Mengalah pada perasaan yang bodoh ini. Mengaku malu pada langit sepi yang berkali-kali menertawakan kegagalanku.


Selama tahun-tahun itu berlalu di depan mataku, hampir tak secuil pun kenangan yang kulupakan atau terlupakan. Aku merasa, apakah perasaanku ini pantas untuk disebut ‘memperjuangkan’ atau ‘diperjuangkan’? Atau, aku kah saja yang terlalu tolol?

Tidak bisa kuhakimi siapa yang bersalah, aku, atau kamu? Jika aku, tolong katakan bila aku terlalu jauh menterjemahkan bahasa hatimu yang begitu absurd. Tolong katakan bila aku salah menilaimu selama ini. Tolong katakan. Dan jika kamu, aku ingin menanyakan banyak hal yang selalu saja membuatku penasaran. Aku ingin kali ini saja kamu menjawabnya.

Aku mengenalmu, Hei. Meski aku hanya melihat keseharianmu saja dalam lembar hariku. Tak lebih, namun tak juga kurang. Aku mengenalmu, sebagai teman dekatku. Tunggu dulu, apa tadi? Teman dekat? Bahkan aku pun tak tahu apakah kamu akan mengakuiku sebagai teman dekatmu? Aku dan kamu, memang terlihat dekat. Tetapi hanya kalimat-kalimat canda yang mengenalkan kita. Kala itu, kita sering bergurau, apapun itu. Leluconmu, membuat perutku bergoncang tak karuan, hingga aku ingin menangis saking letihnya aku tertawa. Dengar, Hei. Setelah lama kita meninggalkan lingkar kehidupan yang tadi, aku selalu merindukan kisah-kisah itu. Merindukan sesuatu yang mungkin tak akan bisa kembali lagi. Benarkan? Tak seorang pun yang mampu memutar masa lalu kembali. Dan aku hanya perlu membiarkan rindu itu tertahan tanpa ucapan. Tersenyum palsu dan mengatakan bahwa aku telah melupakanmu.

Aku merindukan suaramu, Hei. Yang selalu memanggil namaku kencang. Yang membuat telingaku harus terpasang merekam suaramu jika kamu berceloteh. Agar suatu hari jika aku merindukanmu, aku bisa menerka-nerka suaramu dalam otakku. Bisa mendengar tawamu meski tak akan nyata kini.
Aku merindukan wajahmu, Hei. Yang kunilai nyaris sempurna. Sempurna, seperti yang dipujakan perempuan lain. Aku ingin memandangmu lagi, memandang garis senyum sempurnamu untuk kurekam. Untuk kusimpan lagi dalam otakku, dan sewaktu-waktu aku bisa memutarnya lagi. Meski aku harus meraba-raba, tidak jelas.

Sederhana sebetulnya. Aku hanya merindukanmu. Itu saja titik. Tanpa ada koma lagi.
Kini aku terkurung di dalam mobilku. Kosong menatap kap mobil yang basah karena gerimis. Seperti yang kukatakan di awal. Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Yaitu, rindu.

Dan waktu menyeretku ke jam yang telah berlalu barusan. Membawa nostalgia yang nyata. Mempertemukan aku dengan teman-teman lamaku setelah tiga tahun meninggalkan sekolah ini. Dan dirimu, Hei, ada di antara ribuan manusia yang berkunjung ke gedung ini.


Aku tidak tahu bagaimana seharusnya, apakah aku harus berterimakasih pada waktu yang telah mempertemukan kita kembali? Apakah aku harus tertawa, menghampirimu, memelukmu, bertanya padamu ‘hei apa kabar?’ nyatanya aku tak akan bisa bertingkah seperti itu lagi padamu semenjak empat tahun yang lalu. Kala itu kita bertransformasi menjadi orang yang berbeda di mata masing-masing. Akukah yang mencoba menjauh? Ataukah kamu telah melupakanku? Sejak itu kita hanya saling bertatapan tak mengerti jika sesekali bertemu. Hanya diam dan mata yang mengisyaratkan hati kita masing-masing. Menjadi kita yang tidak lagi saling mengenal.

Dan tatapan kaku itu kembali membeku ketika aku menemukanmu di gedung ini. Kamu menatapku datar. Saat itu detik bereplikasi kembali dalam satuan yang lebih kecil, memperlambat waktu. Mata itu, yang sering menatap mataku dulu. Yang jemarinya pernah menghapus airmataku lembut. Yang senyumnya meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang genggaman telapak tangannya menghangatkanku. Aku merindukanmu, Hei.

Gerimis kini telah berevolusi menjadi hujan. Airnya sebesar biji jagung menghantam kap mobilku, berderu-deru. Aku memutar pandangan ke sekitar, dari balik jendela. Menatap sekelilingku yang mulai sepi. Manusia-manusia telah meninggalkan gedung ini satu jam yang lalu. Malam mulai mengapit lara yang tak berarti apa-apa. Hujan menyebabkan bintang-bintang malas bermunculan, bersembunyi di balik awan mendung.

Aku menghidupkan mesin mobil, dalam sekejap lampu depan dari mobilku menyoroti jalanan. Kemudian aku segera tahu, di depan sana dirimu berdiri di bawah lengkungan payung. Menghindari keganasan dari air hujan. Membelah tirai hujan. Kamu menoleh untuk tersenyum. Memberikan kehangatan di tengah lalu lalang angin yang bersahutan lirih. Membuat siapa saja lepuh. Kamu kembali melangkah, masih mempertahankan senyum mu. Dan kamu menggenggam tangannya. Menggenggam tangan seorang perempuan yang kamu cintai dari semenjak empat tahun yang lalu. Perempuan yang sama. Penyebabku menghindarimu.

Enam tahun, selama itu tak pernah perasaan bodohku terungkap di hadapanmu. Didengar olehmu. Aku tidak menginginkannya, Hei. Karena satu alasan, sederhana, aku mencintaimu tetapi kamu mencintainya.

2 komentar: