![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSivQZSL0l8PsqelOFfUDNAsN5x8mcgph_46MkLTgv0XdUGjQu5sdlAPZcz2THpExxnOF6RuWqVkSAioSmBWzGi50P1Av5HwRvcAHsKPE8r2xAESaFJWOpteHuIHIVd6sjoSxJZRnI3eqL/s1600/hujan+2.jpg)
Aku
membuka jendela kamarku saat hujan mulai turun, menghirup napas dalam
semampuku, menikmati aroma tanah kering yang baru saja tersiram air hujan.
Tetes-tetes anugrah Tuhan yang satu ini selalu bisa membuatku nyaman. Aku pun
tersenyum tanpa disadari. Untuk mendeskripsikan kecintaanku pada salah satu
ciptaan dan karunia terindah yang diberi Tuhan ini rasanya sudah tak perlu
lagi, ini adalah wujud nyata dari sumber kebahagiaanku. Hujan menyelipkan
segala rasa termasuk duka, namun aku memilih bahagia sebagai kadar yang paling
banyak di dalamnya. Lewat hujan aku belajar banyak hal, memaknai sebuah pesan
bisu lewat karya Tuhan yang paling indah. Misalnya, kesedihan. Perasaan itu
hadir saat ada awan hitam menggeser awan putih, awan itu menimbulkan efek yang
menakutkan lewat hujan yang sangat deras dan lewat gemuruh petir yang
memekakkan. Namun, awan itu hadir hanya sebentar, awan itu sedang menguji kita.
Dia ingin melihat apakah kita akan tetap tinggal dan menunggunya reda atau
pergi menembusnya. Atau mungkin sebagian orang akan menikmati kehadirannya,
kita tidak tahu. Perlahan awan itu bergerak pergi meninggalkan sisa-sisa
gerimis, awan putih mulai hadir kembali. Hujan dan awan merupakan satu kesatuan
yang kukagumi. Bahkan Tuhan menyelipkan pelangi di dalamnya, menambah keindahan
lukisan alam yang memesona. Entah siapa yang memulai, semua orang tahu pelangi
akan hadir beriringan setelah badai reda. Setiap orang memaknainya seperti itu,
tapi kenapa kita tak pernah tahu jika kita bahkan bisa menari di tengah iringan
badai? Memaknai segalanya semudah mungkin karena meyakini satu hal, badai
singgah tak akan lama, maka nikmatilah.
Hujan
itu diciptakan untuk banyak hal, salah satunya untuk menumbuhkan kehidupan.
Tanpa hujan, tidak akan ada tumbuhan yang tumbuh. Hujan turun menggenang lalu
pergi lagi. Segala ciptaan Tuhan yang datang akan pergi lagi. Hujan pun tidak
akan pernah tahu kapan ia diciptakan dan kapan ia kembali, seringkali kita
melihat langit yang cerah tiba-tiba hujan turun tak lama lalu reda. Hujan pun tak
tahu harus hadir dalam keadaan seperti apa. Apakah hujan bisa memilih ingin
diturunkan di mana? Di atas aspal? Di atas kuburan? Di atas sungai atau laut?
Atau di atas padang rumput? Hujan tidak tahu, yang hujan tahu titik airnya
sebagian akan menggenang lalu hilang. Yang ia tahu, ia telah menjalankan
tugasnya dengan baik.
Seringkali
aku mengabaikan hal-hal kecil yang patut aku syukuri kehadirannya, karena
segala hal Tuhan ciptakan dengan sebuah alasan, dengan sebuah makna besar yang
terkandung di dalamnya karena alam pun merupakan guru kita. Guru yang dapat
memberikan makna tentang segala aspek kehidupan dari sudut pandang sekecil
apapun itu.
Aku
menutup jendela kamarku saat gerimis itu mulai reda. Rasa syukur ku selalu
bertambah setelah aku melihat hujan. Kerinduanku perlahan terobati.
Hujan
pagi ini membuatku bertambah semangat untuk memulai hari. Setelah merapikan
kamar, aku pun bergegas mandi dan bersiap ke kampus.
Dalam perjalanan ke kampus aku hanya menatap pada aspal yang basah dan tak
terasa aku tersenyum sendiri. Sepertinya hujan telah menyihirku. Ya, menyihirku
semenjak kejadian itu.
“Eh,
kenapa kamu ketawa-ketawa sendiri? Udah mulai gila?”
“Sembarangan
aja kalo ngomong. Emangnya lu mau punya ade yang gila?”
“Ya enggak
sih. Tapi gue aneh sama lu, seneng banget sih kalo hujan turun ?”
“Ya gue
seneng aja ka sama hujan. Emang lu gak seneng apa kalo hujan?”
“Enggak!
Soalnya hujan itu bikin basah, bikin becek, dan bikin macet kaya gini.lu aneh
de”
“Selera
orang beda-beda ka. Gak apalah yang penting gak gila.”
“Ih,
bener-bener aneh kamu.”
Tak lama hujan pun kembali menjadi deras. Ka Siska pun hanya bisa menggerutu
karena macet yang semakin parah. Dari pada mendengarkan ocehannya yang gak
jelas, lebih baik aku mendengarkan radio dan kembali manatap hujan yang semakin
deras. Hanya suara hujan dan alunan instrument yang terdengar oleh
telinga. Aku terbuai dan masuk kedalam pikiran.
* * *
“Hai,
kamu belum pulang?” sapaku pada seorang gadis yang sedang duduk di lobby sekolah
“Eh…halo,
masih menunggu kakakku menjemput. Kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku
masih menunggu hujan reda.” Jawabku singkat
Tak lama
hujan pun kian mereda tetapi gadis itu masih belum di jemput oleh kakaknya.
“Rumah
kamu dimana? hujan sudah reda dan kakakmu belum datang juga. Bagaimana kalau
aku antarkan kamu pulang?”
“Tidak
usah, Sebentar lagi juga kakakku datang. Nah itu dia datang menjemput, aku
duluan yah terima kasih buat tawarannya.”
Gadis
itu berlari kecil menuju mobil kakaknya. Sebelum masuk kedalam mobil dia
terlihat tersenyum kepadaku. Sungguh sebuah senyuman yang manis. Tak lama aku
pun segera meghampiri sepeda motor dan bergegas pulang sebelum hujan kembali
deras.
Senyuman
itu tak bisa aku lupakan apakah ini yang namanya cinta? entalah hanya tuhan
yang tahu. Siapa nama gadis itu? bodoh sekali aku lupa menanyakannya. Lebih
baik aku segera tidur dan berharap besok bisa bertemu lagi dengan dia.
“Ren,
kamu sudah bangun? Tumben, biasanya nunggu di bangunin sama mamah dulu.”
“Udag
dong Mah, Mah, Rendi mau mandi dulu yah”
“Ya udah
sana mandi nanti langsung turun yah buat sarapan .”
“Iya
Mah.”
Memang
tidak biasanya aku bangun sepagi ini biasanya menunggu Mamah untuk
membangunkanku. Selesai mandi dan membereskan kamar aku pun segera turun dan
bergabung untuk sarapan bersama Papah dan Mamah.
“Kayaknya
anak kita lagi kasmaran nih Pah” goda mamah saat aku baru duduk di belakang
meja makan.
“Apaan
sih, Mamah sok-tau nih biasa aja tau mah.” Jawabku membela diri dengan sedikit
malu
“Abis
tumben-tumbenan kamu semangat banget ke sekolah biasanya males-malesan kamu.”
Dengan nada mengejek
“Yeh si
mamah, anaknya rajin bukannya seneng malah heran. Mah, Pah, aku berangkat dulu
yah takut telat nih sampe di sekolah.
“Sekarang
takut telat kamu Ren? Biasanya juga dating telat kamu heheh” Sekali lagi Mamah
pun meledek
“Sudahlah
Mah, jangan di ledek terus. Nanti kalau dia jadi males lagi kan kamu juga yang
repot. Oh iya 2(dua) minggu lagi kakakmu pulang ke Jakarta.” Bela Papah
“Ka
siska udah beres kuliahnya ? bagus deh kalo gitu jadinya gak cuman aku
yang jai bahan ejekannya mamah.” Sambil tertawa dan berlari menuju ke garasi
dan menghampiri sepeda motorku.
“Bener
kan pah anak kita lagi kasmaran tuh.”
“Ya udah
biarin ajalah mah namanya juga remaja kaya kamu gak pernah remaja aja.” Jawab
Papah atas perkataan Mamah
Kasmaran, mungkin itu memang kata yang tepat untuk keadaanku kali ini. Kalo
kasmaran berarti aku sedang jatuh cinta, tapi jatuh cinta kepada siapa? apakah
kepada gadis itu? gadis yang kutemui di lobby sekolah kemarin sore. Mungkin
saja tapi yang pasti aku harus tahu siapa nama gadis itu.
Seperti
biasa setelah sampai disekolah aku langsung menuju ruang kelas yang ternyata
masih sepi, kepagian kayaknya aku datang karena biasanya saat aku sampai di
kelas sudah banyak teman-temanku yang datang.
“Ren,
tumben lu udah nyampe jam segini? biasanya nyerempet sama bel masuk lu baru
datang.” Sapa herlina dengan sedikit mengejek
“Sama
aja kaya mamahku. Gue rajin malah diledekin.” Jawabku dengan sedikit sebal
“Ya udah
sih gak usah marah-marah juga kali masih pagi nih.” Sambil melangkah dan duduk
tepat di depan tempat dudukku
Satu persatu teman-temanku datang dan tak lama kemudian bel tanda masuk pun
berbunyi tanda pelajaran di mulai. Aku masih tidak bisa lupa dengan senyuman
manis gadis itu, hanya senyuman itu yang ada dalam pikiranku. Benar. Aku harus
tahu nama gadis itu, istirahat nanti akan kucari gadis itu.
Akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Bergegas aku menuju kantin dan benar saja
gadis itu sedang duduk sendiri di pojok kantin sambil memakan bekal yang di
bawanya. Aku pun hendak menghampirinya, semoga saja dia masih ingat kepadaku.
“Hai kamu
sendirian aja temen-temenmu kemana?” Tanyaku sambil menarik kursi yang ada di
hadapannya
“kamu
yang kemarin nemenin aku di lobby yah? Makasih banget yah kemarin.
Mereka lagi di kelas bilangnya sih lagi ngerjain tugas.” Jawabnya dengan
senyuman
“Iya
sama-sama, Oh iya kemaren kita belum kenalan. Namaku Rendiana Destrasanca kamu
bisa panggil aku Rendi.” Sambil sedikit tersenyum kepadanya.
“Namaku
Sheila Indah Puspita. Nama kamu Rendiana? ko kaya nama cewe sih heheh.”
“iya
memang banyak yang bilang begitu. Tapi tetap aku ini cowok tulenku.” Jawabku
dengan tertawa
Waktu
istirahat berlalu begitu cepat. Kami menghabiskan watu istirahat dengan
bercanda dan mengobrol, ternyata Sheila orang yang asik buat di ajak ngobrol.
Sheila Indah Puspita nama yang indah sesuai dengan penampilannya yang indah
juga.
Semenjak
hari itu kami sering menghabiskan waktu berdua. Bukan hanya di sekolah, di luar
sekolah pun kami begitu, tak terasa sudah lama aku dan sheila dekat tapi aku
tidak tau dengan perasaan aneh yang sering muncul saat aku ada di dekatnya.
Mungkin aku menyukai, tapi aku tidak berani untuk mengatakannya. Aku takut
persahabatan kami ini akan hancur karena rasa aneh yang ada di dalam diriku
ini. Apakah dia merasakan hal sama denganku? mungkin iya mungkin juga tidak.
Perhatiannya selama ini mungkin hanya sebatas sebagai sahabat.
“Lulus
sekolah nanti kau mau melajutkan ke mana?” Tanya Sheila di suatu sore ketika
aku sedang menemaninya berbelanja
“Sepertinya
aku akan kuliah di salah satu PTN di Jakarta. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku
masih belum tahu masih menunggu kejelasan tentang ayahku dulu.”
“Memangnya
kenapa dengan ayahmu?”
“Rencananya
dia akan dipindah tugaskan ke luar negeri oleh kantornya, kalo dia jadi
dipindahkan otomatis kami sekeluarga pun akan pindah mengikutinya.” Jawabnya
agak sedikit sedih
Sedih
memang mendengarnya akan pindah ke luar negeri tapi apa yang bisa aku lakukan?
tidak ada. Setelah selasai mengantarkan dia berbelanja kami pun mampir untuk
makan di Rumah makan favorit kami.
Hujan
deras yang mengguyur tempat ini lumayan lama. Hampir 2(dua) jam aku terjebak di
sini bersama Sheila membuat kami semakin dekat dan mengukir banyak kenangan
diantara kami. Hujan telah reda kami pun bergegas pulang. Seperti biasa, aku
mengantarkan Sheila ke rumahnya dan baru aku pulang ke rumahku. Sesampainya dirumah
langsungku seduh segelas cokelat panas dan duduk di balkon kamarku sambil
membaca buku yang baruku beli.
Beberapa minggu ini yang ada di
pikiranku hanya tentang Sheila dan Sheila tak ada yang lain ku pikirkan, walaupun
kami masih sering menghabiskan waktu berdua tapi tetap saja saat teringat bahwa
Sheila akan pergi itu selalu membuatku gusar dan sedih.
Tidak
terasa Ujian Nasional tinggal satu minggu lagi, itu berarti saat-saat bersama
dengan Sheila hanya tinggal hitungan jari. Berat rasanya untuk ingat tentang
itu tapi aku bisa? Yang bisa ku lakukan hanyalah membuat sisa waktu bersama Sheila
menjadi kenangan yang tidak bisa ia lupakan.
Akhirnya aku pun lulus sekolah dan akan melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Sheila benar-benar pindah ke luar negeri tepatnya ke Inggris. Sehari
setelah perpisahan sekolah dia berangkat, sebelum naik ke pesawat dia
memberikanku sebuah bingkisan katanya bukan barang berharga tapi ini dapat
mengobati bila aku rindu dengannya. Suasana sedih dan haru perpisahan ini
lengkap sudah dengan hujan yang mengguyur bandara tidak deras tapi cukup untuk
menambah pahitnya perpisahan. Hujan sudah bukan hal asing lagi bagi aku dan
Sheila sudah sering disaat kami sedang bersama hujan datang mengguyur entah
sengaja atau pun tidak. Hujan ya hujan yang selalu menemani kami berdua.
* * *
“Hei Ren, Jangan ngelamun terus! cepet turun udah
sampe nih dikampus lu. Kaka mau langsung ke kantor nih.” Teriak Ka Siska
“Oh eh,
udah nyampe yah ka? heheh maaf deh. Makasih ka buat tumpangannya.”
“Iya
sama-sama. Jangan kebanyakan melamun lu.”
“Oke ka.
Ati-ati di jalan ka.”
Hujan telah reda sepenuhnya, nampaklah sang mentari yang mulai memancarkan
sinarnya. Tidak lupa ada garis cahaya yang menghiasi langit dan dari ujungnya
terlihat seperti seorang bidadari berjalan menghampiriku. Bukan, itu bukan
bidadari sosoknya seperti tak asing bagiku tapi siapakah dia ? aku hanya bisa
berdiri kaku menebak-nebak, siapakah wanita itu. Suara wanita itu seakan
memecahkan lamunanku.
“Hai
Sheila, Bagaimana kabarmu? kapan kau kembali ke Jakarta?” Tanyaku dengan
gembira
“Halo
Ren, Ternyata kau masih ingat denganku. Aku sudah seminggu berada disini aku
sengaja tidak ke rumahmu karena aku ingin membuat kejutan untukmu.” Jawabnya
dengan sangat senang
“Masihlah,
masa aku lupa sih sama kamu. 2(dua) tahun kamu pergi makin cantik aja dirimu.” Jawabku
dengan sedikit menggoda
“Ah bisa
aja kamu Ren. Oh iya sekarang Aku tinggal lagi di Jakarta walaupun bukan di
rumah yang dulu.”
Kami pun
berjalan menuju kelas dengan mengobrol dan menghabiskanwaktu berdua seperti saat kami
SMA. Sekarang pun kami masih menjadi sahabat baik, banyak teman-teman di kampus
mengira kamu mempunyai hubungan khusus tapi kenyataannya tidak kami hanyalah
sahabat.
Ternyata benar sebuah kutipan buku yang kubaca dulu “Lepaskanlah seorang
yang kau cintai karena kemana pun dia pergi dia akan menemukan jalan kembali
padamu”. Sampai sekarang pun aku belum mengungkapkan perasaanku bukan karna
aku takut tapi aku masih menunggu saat yang tepat.
“Hujan
yang mempertemukan aku denganmu, Hujan yang memisahkan aku denganmu dan
Hujan yang membuat kamu kembali padaku.”
Pergi Untuk Kembali