Aku membuka jendela kamarku saat hujan mulai turun,
menghirup napas dalam semampuku, menikmati aroma tanah kering yang baru saja
tersiram air hujan. Tetes-tetes anugrah Tuhan yang satu ini selalu bisa
membuatku nyaman. Aku pun tersenyum tanpa disadari. Untuk mendeskripsikan
kecintaanku pada salah satu ciptaan dan karunia terindah yang diberi Tuhan ini
rasanya sudah tak perlu lagi, ini adalah wujud nyata dari sumber kebahagiaanku.
Hujan menyelipkan segala rasa termasuk duka, namun aku memilih bahagia sebagai
kadar yang paling banyak di dalamnya. Lewat hujan aku belajar banyak hal,
memaknai sebuah pesan bisu lewat karya Tuhan yang paling indah. Misalnya,
kesedihan. Perasaan itu hadir saat ada awan hitam menggeser awan putih, awan
itu menimbulkan efek yang menakutkan lewat hujan yang sangat deras dan lewat
gemuruh petir yang memekakkan. Namun, awan itu hadir hanya sebentar, awan itu
sedang menguji kita. Dia ingin melihat apakah kita akan tetap tinggal dan
menunggunya reda atau pergi menembusnya. Atau mungkin sebagian orang akan
menikmati kehadirannya, kita tidak tahu. Perlahan awan itu bergerak pergi
meninggalkan sisa-sisa gerimis, awan putih mulai hadir kembali. Hujan dan awan merupakan
satu kesatuan yang kukagumi. Bahkan Tuhan menyelipkan pelangi di dalamnya,
menambah keindahan lukisan alam yang memesona. Entah siapa yang memulai, semua
orang tahu pelangi akan hadir beriringan setelah badai reda. Setiap orang
memaknainya seperti itu, tapi kenapa kita tak pernah tahu jika kita bahkan bisa
menari di tengah iringan badai? Memaknai segalanya semudah mungkin karena
meyakini satu hal, badai singgah tak akan lama, maka nikmatilah.
Hujan itu diciptakan untuk banyak hal, salah satunya untuk
menumbuhkan kehidupan. Tanpa hujan, tidak akan ada tumbuhan yang tumbuh. Hujan
turun menggenang lalu pergi lagi. Segala ciptaan Tuhan yang datang akan pergi
lagi. Hujan pun tidak akan pernah tahu kapan ia diciptakan dan kapan ia
kembali, seringkali kita melihat langit yang cerah tiba-tiba hujan turun tak
lama lalu reda. Hujan pun tak tahu harus hadir dalam keadaan seperti apa.
Apakah hujan bisa memilih ingin diturunkan di mana? Di atas aspal? Di atas
kuburan? Di atas sungai atau laut? Atau di atas padang rumput? Hujan tidak tahu,
yang hujan tahu titik airnya sebagian akan menggenang lalu hilang. Yang ia
tahu, ia telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Seringkali aku mengabaikan hal-hal kecil yang patut aku
syukuri kehadirannya, karena segala hal Tuhan ciptakan dengan sebuah alasan,
dengan sebuah makna besar yang terkandung di dalamnya karena alam pun merupakan
guru kita. Guru yang dapat memberikan makna tentang segala aspek kehidupan dari
sudut pandang sekecil apapun itu.
Aku menutup jendela kamarku saat gerimis
itu mulai reda. Rasa syukur ku selalu bertambah setelah aku melihat hujan.
Kerinduanku perlahan terobati.
Hujan pagi ini membuatku bertambah
semangat untuk memulai hari. Setelah merapikan kamar, aku pun bergegas mandi
dan bersiap ke kampus.
“Ren, udah selesai belum? Kaka udah
telat ke kantor, nih, jadi berangkat bareng atau enggak?” dengan sebal
meneriaki Rendi yang masih ada di kamar.
“Sebentar lagi, Kak, 5 menit lagi.
Iya jadi, Kak, kalo gak bareng entar aku telat ke kampusnya.”
“Ya udah cepetan. Cowok kok lama
amat, sih? Dandan dulu apa kamu di kamar?”
“Sudah sabarlah, Sis, kayak kamu gak
pernah muda aja?” seraya menggoda Siska, ibu pun tertawa.
“Tapi, Mah, aku kan cewek sedangkan
dia cowok. Beda dong!” jawabnya dengan jengkel.
Ayah dan Ibu pun hanya tertawa dan
terlihat Siska semakin menekuk wajahnya. Tak lama Rendi pun menghampiri meja
makan dan mengambil sepotong roti milik kakaknya.
“Eh, itu kan roti kakak! Kalo mau
bikin sendiri!” dengan nada sedikit marah Siska pun mencoba merebut rotinya
kembali.
“Udahlah, cuma sepotong ini. Itu masih
ada satu lagi. Ayo cepat, Kak, nanti aku telat ke kampus hari ini ada kuis. Mah,
Pah, aku berangkat dulu yah.” Sambil berpamitan dan berlari keluar rumah.
“Hei, kamu tuh yang lama udah bikin
telat malah nyalahin aku lagi. Mah,Pah, Siska berangkat yah.”
“Iya, hati-hati kalian di jalan.
Jangan ribut terus di mobil, loh!”
“Tergantung, Pah, Rendinya bikin
kesel atau enggak!”
Dalam
perjalanan ke kampus aku hanya menatap pada aspal yang basah dan tak terasa aku
tersenyum sendiri. Sepertinya hujan telah menyihirku. Ya, menyihirku semenjak
kejadian itu.
“Eh, kenapa kamu ketawa-ketawa
sendiri? Udah mulai gila?”
“Sembarangan aja kalo ngomong.
Emangnya kakak mau punya ade yang gila?”
“Ya enggak sih. Tapi kaka aneh sama
kamu, kamu ko seneng banget sih kalo hujan turun ?”
“Ya aku seneng aja ka sama hujan.
Emang kaka gak seneng apa kalo hujan?”
“Enggak! Soalnya hujan itu bikin
basah, bikin becek, dan bikin macet kaya gini. Kamu aneh de”
“Selera orang beda-beda ka. Gak
apalah yang penting gak gila.”
“Ih, bener-bener aneh kamu.”
Tak
lama hujan pun kembali menjadi deras. Ka Siska pun hanya bisa menggerutu karena
macet yang semakin parah. Dari pada mendengarkan ocehannya yang gak jelas itu
lebih baik aku mendengarkan radio dan kembali manatap hujan yang semakin deras.
Hanya suara hujan dan alunan instrument yang
terdengar oleh telinga. Aku terbuai dan masuk kedalam pikiran.
* * *
“Hai, kamu belum pulang?” sapaku
pada seorang gadis yang sedang duduk di lobby
sekolah
“Eh…halo, masih menunggu kakakku
menjemput. Kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku masih menunggu hujan reda.”
Jawabku singkat
Tak lama hujan pun kian mereda
tetapi gadis itu masih belum di jemput oleh kakaknya.
“Rumah kamu dimana? hujan sudah reda
dan kakakmu belum datang juga. Bagaimana kalau aku antarkan kamu pulang?”
“Tidak usah, Sebentar lagi juga
kakakku datang. Nah itu dia datang menjemput, aku duluan yah terima kasih buat
tawarannya.”
Gadis itu berlari kecil menuju mobil
kakaknya. Sebelum masuk kedalam mobil dia terlihat tersenyum kepadaku. Sungguh
sebuah senyuman yang manis. Tak lama aku pun segera meghampiri sepeda motor dan
bergegas pulang sebelum hujan kembali deras.
Senyuman itu tak bisa aku lupakan
apakah ini yang namanya cinta? entalah hanya tuhan yang tahu. Siapa nama gadis
itu? bodoh sekali aku lupa menanyakannya. Lebih baik aku segera tidur dan berharap
besok bisa bertemu lagi dengan dia.
“Ren, kamu sudah bangun? Tumben,
biasanya nunggu di bangunin sama mamah dulu.”
“Udag dong Mah, Mah, Rendi mau mandi
dulu yah”
“Ya udah sana mandi nanti langsung
turun yah buat sarapan .”
“Iya Mah.”
Memang tidak biasanya aku bangun
sepagi ini biasanya menunggu Mamah untuk membangunkanku. Selesai mandi dan
membereskan kamar aku pun segera turun dan bergabung untuk sarapan bersama
Papah dan Mamah.
“Kayaknya anak kita lagi kasmaran
nih Pah” goda mamah saat aku baru duduk di belakang meja makan.
“Apaan sih, Mamah sok-tau nih biasa
aja tau mah.” Jawabku membela diri dengan sedikit malu
“Abis tumben-tumbenan kamu semangat
banget ke sekolah biasanya males-malesan kamu.” Dengan nada mengejek
“Yeh si mamah, anaknya rajin bukannya
seneng malah heran. Mah, Pah, aku berangkat dulu yah takut telat nih sampe di
sekolah.
“Sekarang takut telat kamu Ren? Biasanya
juga dating telat kamu heheh” Sekali lagi Mamah pun meledek
“Sudahlah Mah, jangan di ledek
terus. Nanti kalau dia jadi males lagi kan kamu juga yang repot. Oh iya 2(dua)
minggu lagi kakakmu pulang ke Jakarta.” Bela Papah
“Ka siska udah beres kuliahnya
? bagus deh kalo gitu jadinya gak cuman
aku yang jai bahan ejekannya mamah.” Sambil tertawa dan berlari menuju ke
garasi dan menghampiri sepeda motorku.
“Bener kan pah anak kita lagi
kasmaran tuh.”
“Ya udah biarin ajalah mah namanya
juga remaja kaya kamu gak pernah remaja aja.” Jawab Papah atas perkataan Mamah
Kasmaran,
mungkin itu memang kata yang tepat untuk keadaanku kali ini. Kalo kasmaran
berarti aku sedang jatuh cinta, tapi jatuh cinta kepada siapa? apakah kepada
gadis itu? gadis yang kutemui di lobby sekolah
kemarin sore. Mungkin saja tapi yang pasti aku harus tahu siapa nama gadis itu.
Seperti biasa setelah sampai
disekolah aku langsung menuju ruang kelas yang ternyata masih sepi, kepagian
kayaknya aku datang karena biasanya saat aku sampai di kelas sudah banyak
teman-temanku yang datang.
“Ren, tumben kamu udah nyampe jam
segini? biasanya nyerempet sama bel masuk kamu baru datang.” Sapa herlina
dengan sedikit mengejek
“Kamu sama mamahku sama saja. Aku
rajin malah diledekin.” Jawabku dengan sedikit sebal
“Ya udah sih gak usah marah-marah
juga kali masih pagi nih.” Sambil melangkah dan duduk tepat di depan tempat
dudukku
Bel
tanda masuk berbunyi pelajaran pun di mulai. Aku masih tidak bisa lupa dengan
senyuman manis gadis itu, hanya senyuman itu yang ada dalam pikiranku. Benar.
Aku harus tahu nama gadis itu, istirahat nanti akan kucari gadis itu.
“Rendi, tolong kamu kerjakan soal
yang ada di papan tulis cepat !” Bentak guruku yang langsung memecahkan
lamunanku.
“Ba…baik pak.” Jawabku dengan gugup
Akhirnya
bel istirahat pun berbunyi. Bergegas aku menuju kantin dan benar saja gadis itu
sedang duduk sendiri di pojok kantin sambil memakan bekal yang di bawanya. Aku
pun hendak menghampirinya, semoga saja dia masih ingat kepadaku.
“Hai sendirian aja temen-temen kamu
kemana?” Tanyaku sambil menarik kursi yang ada di hadapannya
“kamu yang kemarin nemenin aku di lobby yah? Makasih banget yah kemaren. Mereka
lagi di kelas bilangnya sih lagi ngerjain tugas.” Jawabnya dengan senyuman
“Iya sama-sama, Oh iya kemaren kita
belum kenalan. Namaku Rendiana Nichols Putra kamu bisa panggil aku Rendi.”
Sambil mengulurkan tangan kepadanya.
“Namaku Sheila Indah Puspita Sari.
Nama kamu Rendiana? ko kaya nama cewe sih heheh.”
“iya memang banyak yang bilang
begitu. Tapi ini kan nama pemberian dari mamahku.” Jawabku dengan sedikit malu
Waktu istirahat berlalu begitu
cepat. Kami menghabiskan watu istirahat dengan bercanda dan mengobrol, ternyata
Sheila orang yang asik juga buat di ajak ngobrol. Sheila Indah Puspita Sari
nama yang indah sesuai dengan penampilannya yang indah juga.
Semenjak hari itu kami sering
menghabiskan waktu berdua. Bukan hanya di sekolah, di luar sekolah pun kami
begitu, tak terasa sudah lama aku dan dia dekat tapi aku tidak tau dengan perasaan
aneh yang sering muncul saat aku ada di dekatnya. Sepertinya aku menyukai dia.
Tapi aku tidak berani untuk mengatakannya, aku takut persahabatan kami ini akan
hancur karena rasa aneh yang ada di dalam diriku ini. Apakah dia merasakan hal
sama denganku? mungkin iya mungkin juga tidak. Perhatiannya selama ini mungkin
hanya sebatas sebagai sahabat.
“Lulus sekolah nanti kau mau
melajutkan ke mana?” Tanya Sheila di suatu sore ketika aku sedang menemaninya
berbelanja
“Sepertinya aku akan kuliah di salah
satu PTN di Jakarta. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku masih belum tahu masih menunggu
kejelasan tentang ayahku dulu.”
“Memangnya kenapa dengan ayahmu?”
“Rencananya dia akan dipindah
tugaskan ke Inggris oleh kantornya, kalo dia jadi dipindahkan otomatis kami
sekeluarga pun akan pindah ke Inggris.” Jawabnya agak sedikit sedih
Sedih memang mendengarnya akan
pindah ke luar negeri tapi apa yang bisa aku lakukan? tidak ada. Setelah
selasai mengantarkan dia berbelanja kami pun mampir untuk makan di Rumah makan
favorit kami.
“Ren, kita foto berdua yuk di depan
rumah makan ini kamu mau kan?” Tanyanya dengan sedikit malu
“Mau ko Shel. Udah lama kita gak
foto berdua heheh. “ Jawabku dengan semangat. Mungkin saja ini foto terakhir
kami berdua kalo misalkan dia benar-benar akan pindah.
Hujan
deras yang mengguyur tempat ini lumayan lama. Hampir 2(dua) jam aku terjebak di
sini bersama Sheila membuat kami semakin dekat dan mengukir kenangan indah di
tempat ini. Hujan telah reda kami pun bergegas pulang. Sebelum aku pulang, aku
mengantarkan Sheila ke rumahnya dan baru aku pulang ke rumahku. Sesampainya aku
langsung mandi dan berniat menceritakan tentang Sheila kepada kaka-ku.
“Ka Siska. Lagi sibuk gak?” tanyaku
dari depan pintu kamarnya
“Engga ko Ren, memang kenapa?”
Tanya-nya sedikit penasaran, karna sebelumnya belum pernah aku mau bercerita
masalahku padanya.
“Gini ka, aku mau cerita tentang
Sheila. Kakak tau Sheila kan?
“Tahu dong. Sheila temen deketmu itu
kan? memangnya ada apa dengan dia?”
“Begini ka, Sepertinya aku suka sama
dia tapi aku gak berani bilang sama dia karena aku takut persahabatan aku sama
dia ancur, cuman gara-gara aku suka sama dia. Aku gak tahu perasaan dia ke aku
kayak gimana dan tadi dia bilang sama aku kalo dia mau pindah ke luar negeri
ka. Jadi aku harus kaya gimana dong ka?”
“Oh kamu mau cerita tentang ini,
kaka kira mau ceritayang lain. Kalo menurut kaka kamu jangan bilang kalo kamu
suka sama dia, kenapa? karena ada pepatah bilang Lepaskanlah orang yang kau cintai dan bila ia kembali maka ialah
jodohmu.”
“Maksudnya ka ?” Tanyaku dengan
bingung
“Kamu tahu burung merpati gak ?”
“Iya tahu ka, memangnya kenapa ?”
“Seberapa pun jauh burung itu
terbang dia pasti tahu jalan untuk pulang dan kembali kepada pasangannya. Kamu
tahu kan tentang filosofi burung merpati.”
“Iya ka aku tahu ko. Jadi maksud
kaka aku harus ngeralain dia pergi dan kalo dia memang jodoh aku dia pasti
kembali ke sini dan nyari aku gitu ka?”
“Iya kamu bener Ren. Udahlah jangan
galau jelek tau muka kamu kalo galau, udah tidur sana besok telat lagi kamu
ujiannya.”
“Oke deh makasih kaka. Walau
nyebelin tapi terkadang omongan kaka bijak juga yak hahah.”
Akhirnya
aku pun lulus sekolah dan akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Sheila benar-benar pindah ke Inggris. Sehari setelah perpisahan sekolah dia
berangkat, sebelum naik ke pesawat dia memberikanku sebuah bingkisan katanya
bukan barang berharga tapi ini dapat mengobati bila aku rindu dengannya.
Suasana sedih dan haru perpisahan ini lengkap sudah dengan hujan yang mengguyur
bandara tidak deras tapi cukup untuk menambah pahitnya perpisahan. Hujan sudah
bukan hal asing lagi bagi aku dan Sheila sudah sering disaat kami sedang
bersama hujan datang mengguyur entah sengaja atau pun tidak. Hujan ya hujan
yang selalu menemani kami berdua.
* * *
“Woi Ren, Jangan ngelamun terus!
cepet turun udah sampe nih dikampus kamu. Kaka mau langsung ke kantor nih.” Ka
Siska mencoba membangunkanku dari lamunan
“Oh eh, udah nyampe yah ka? heheh
maaf deh. Makasih kaka buat tumpangannya.”
“Iya sama-sama. Jangan kebanyakan
melamun kamu.”
“Oke ka. Ati-ati di jalan ka.”
Hujan
telah reda sepenuhnya, nampaklah sang mentari yang mulai memancarkan sinarnya.
Tidak lupa ada garis cahaya yang menghiasi langit dan dari ujungnya terlihat
seperti seorang bidadari berjalan menghampiriku. Bukan, itu bukan bidadari
sosoknya seperti tak asing bagiku tapi siapakah dia ? aku hanya bisa berdiri
kaku menebak-nebak, siapakah wanita itu. Suara wanita itu seakan memecahkan
lamunanku dan membuatku tahu siapa dia sebenarnya.
“Hai Sheila, Bagaimana kabarmu?
kapan kau kembali ke Jakarta?” Tanyaku dengan gembira
“Halo Ren, Ternyata kau masih ingat
denganku. Aku sudah seminggu berada disini aku sengaja tidak ke rumahmu karena
aku ingin membuat kejutan untukmu.” Jawabnya dengan sangat senang
“Masihlah masa aku lupa sama sahabat
terbaikku yang satu ini. Apa kejutan itu ?” tanyaku dengan penasaran
“Aku sekarang tinggal lgi di
Indonesia dan aku sekarang menempuh pendidikan di kampus yang sama dan juga
jelas yang sama denganmu heheh.” Jawabnya dengan gembira
Kami pun berjalan menuju kelas
dengan mengobrol dan bercanda-canda seperti dulu waktu SMA. Sekarang pun kami
masih menjadi sahabat baik, banyak teman-teman di kelas mengira kamu mempunyai
hubungan khusus tapi kenyataannya tidak kami hanyalah sahabat.
Ternyata
benar kata Ka Siska dulu “Lepaskanlah
orang yang kau cintai dan bila ia kembali maka ialah jodohmu”. Sampai
sekarang pun aku belum mengungkapkan perasaanku bukan karna aku takut tapi aku
masih menunggu saat yang tepat.
“Hujan
yang mempertemukan aku denganmu, Hujan yang memisahkan aku denganmu dan Hujan yang membuat kamu kembali padaku.”
Diantara Hujan