Senin, 21 Juli 2014

Disaat Aku Tak Menulis Lagi

Sampai ketika mataku menutup tenggelam
Terpejam akan kelam dan tinggal hitam
Jemari pun juga enggan
Gemulainya kata tak jadi sajak terang

Dunia ini indah
Sang surya akan terus bersinar
Menerangi bait-bait yang lama hilang
Tertelan oleh keadaan

Tutuplah jendela ini
Agar aku menulis dengan tenang
Hanya tinggal satu bayang
Bayanganmu yang ku impikan

Diantara Hujan

Aku membuka jendela kamarku saat hujan mulai turun, menghirup napas dalam semampuku, menikmati aroma tanah kering yang baru saja tersiram air hujan. Tetes-tetes anugrah Tuhan yang satu ini selalu bisa membuatku nyaman. Aku pun tersenyum tanpa disadari. Untuk mendeskripsikan kecintaanku pada salah satu ciptaan dan karunia terindah yang diberi Tuhan ini rasanya sudah tak perlu lagi, ini adalah wujud nyata dari sumber kebahagiaanku. Hujan menyelipkan segala rasa termasuk duka, namun aku memilih bahagia sebagai kadar yang paling banyak di dalamnya. Lewat hujan aku belajar banyak hal, memaknai sebuah pesan bisu lewat karya Tuhan yang paling indah. Misalnya, kesedihan. Perasaan itu hadir saat ada awan hitam menggeser awan putih, awan itu menimbulkan efek yang menakutkan lewat hujan yang sangat deras dan lewat gemuruh petir yang memekakkan. Namun, awan itu hadir hanya sebentar, awan itu sedang menguji kita. Dia ingin melihat apakah kita akan tetap tinggal dan menunggunya reda atau pergi menembusnya. Atau mungkin sebagian orang akan menikmati kehadirannya, kita tidak tahu. Perlahan awan itu bergerak pergi meninggalkan sisa-sisa gerimis, awan putih mulai hadir kembali. Hujan dan awan merupakan satu kesatuan yang kukagumi. Bahkan Tuhan menyelipkan pelangi di dalamnya, menambah keindahan lukisan alam yang memesona. Entah siapa yang memulai, semua orang tahu pelangi akan hadir beriringan setelah badai reda. Setiap orang memaknainya seperti itu, tapi kenapa kita tak pernah tahu jika kita bahkan bisa menari di tengah iringan badai? Memaknai segalanya semudah mungkin karena meyakini satu hal, badai singgah tak akan lama, maka nikmatilah.
Hujan itu diciptakan untuk banyak hal, salah satunya untuk menumbuhkan kehidupan. Tanpa hujan, tidak akan ada tumbuhan yang tumbuh. Hujan turun menggenang lalu pergi lagi. Segala ciptaan Tuhan yang datang akan pergi lagi. Hujan pun tidak akan pernah tahu kapan ia diciptakan dan kapan ia kembali, seringkali kita melihat langit yang cerah tiba-tiba hujan turun tak lama lalu reda. Hujan pun tak tahu harus hadir dalam keadaan seperti apa. Apakah hujan bisa memilih ingin diturunkan di mana? Di atas aspal? Di atas kuburan? Di atas sungai atau laut? Atau di atas padang rumput? Hujan tidak tahu, yang hujan tahu titik airnya sebagian akan menggenang lalu hilang. Yang ia tahu, ia telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Seringkali aku mengabaikan hal-hal kecil yang patut aku syukuri kehadirannya, karena segala hal Tuhan ciptakan dengan sebuah alasan, dengan sebuah makna besar yang terkandung di dalamnya karena alam pun merupakan guru kita. Guru yang dapat memberikan makna tentang segala aspek kehidupan dari sudut pandang sekecil apapun itu.
Aku menutup jendela kamarku saat gerimis itu mulai reda. Rasa syukur ku selalu bertambah setelah aku melihat hujan. Kerinduanku perlahan terobati.